Makalah Sejarah Lampung



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam pelajaran Bahasa Lampung di SMA terdapat materi tentang Sejarah Lampung. Seorang siswa harus menguasai materi tentang Sejarah Lampung dan Pakaian Adat Lampung agar siswa tahu adat sendiri dan sesuai dengan alurnya.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
1.      Sejarah Lampung?
2.      Pakaian Adat Lampung?

C.  Manfaat Makalah
Manfaat dari makalah ini adalah
1.      Menyelesaikan tugas mata pelajaran Bahasa Lampung semester V
2.      Memahami Sejarah Lampung
3.      Memahami Pakaian Adat Lampung





BAB II
PEMBAHASAN
A.                Sejarah Lampung
Pada abad ke VII orang di negeri Cina sudah membicarakan suatu wilayah didaerah Selatan (Namphang) dimana terdapat kerajaan yang disebut Tolang Pohwang, To berarti orang dan Lang Pohwang adalah Lampung. Terdapat bukti kuat bahwa Lampung merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Jambi dan menguasai sebagian wilayah Asia Tenggara termasuk Lampung dan berjaya hingga abad ke-11. Sriwijaya datang ke Lampung karena daerah ini dulunya merupakan sumber emas dan damar.
Peninggalan yang menunjukkan bahwa Lampung berada dibawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya antara lain dengan ditemukannya prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Batu Bedil didaerah Tenggamus merupakan peninggalan kerajaan seriwijaya (abad VIII). Kerajaan-kerajaan Tulang Bawang dan Skala Brak juga pernah berdiri pada sekitar abad VII-VIII. Pusat Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan disekitar Menggala/Sungai Tulang Bawang sampai Pagar Dewa. Zaman Islam ditandai masuknya Banten diLampung pada abad ke 16, terutama saat bertahtanya Sultan Hasanuddin (1522-1570). Sejak masa lampau, Lampung memang dikenal karena tanaman ladanya yang banyak dicari orang. Kesultanan Banten yang tertarik dengan produksi lada Lampung mengusai daerah ini pada awal abad ke-16 dan sekaligius memperkenalkan agama Islam. Pada zaman ini Lampung melahirkan pahlawan yang terkenal gigih menantang Belanda. Bernama Radin Intan. Pengaruh Islam terlihat diantaranya dan adanya Tambra Prasasti (Buk Dalung) didaerah Bojong Kecamatan Jabung Sekarang, berisi perjanjian kerjasama antara Banten dan Lampung dalam melawan penjajahan Belanda.
Kontrol yang dilakukan Kesultanan Banten atas produksi lada Lampung telah menjadikan pelabuhan Banten sebagai pelabuhan lada yang paling besar dan paling makmur di Nusantara. Tanaman lada pula yang juga menarik kaum pendatang asing dari Eropa seperti perusahaan dagang dari Belanda Dutch East India Company. Perusahaan dagang ini pada akhir abad ke-17 membangun sebuah pabrik pengolahan di Menggala. Namun dengan berbagai upaya akhirnya Belanda berhasil menguasai Lampung pada tahun 1856.Pemerintah kolonial Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan program transmigrasi kepada penduduk di Pulau Jawa yang sangat padat untuk pindah dan berusaha di Lampung. Program transmigrasi ini ternyata cukup diterima baik dan banyak penduduk asal Pulau Jawa yang kemudian pindah ke lokasi transmigrasi yang berada di kawasan timur Lampung. Program transmigrasi ini kemudian ditingkatkan lagi pada masa kemerdekaan pada tahun 1960-an dan 1970- an. Orang asal Pulau Jawa ini membawa serta perangkat kebudayaan mereka ke Lampung seperti gamelan dan wayang. Orang dari Pulau Bali kemudian juga datang ke Lampung untuk mengikuti program transmigrasi ini. Kehadiran pendatang dari daerah lain di Lampung telah menjadikan wilayah ini sebagai daerah dengan kebudayaan yang beragam (multi-kultur). Keragaman suku yang ada justru menjadi daya tarik wisata apalagi di berbagai kabupaten yang ada tersebar potensi wisata alam, wisata budaya. Keberadaan sanggar-sanggar seni/budaya sebagai pelestari seni/budaya warisan nenek moyang banyak berkembang

Sejarah Kaganga
Kepulauan Sumatera pernah didatangi bangsa Yunan dari daratan Indo-Cina pada abad Sebelum Masehi. Bangsa ini sebelum datang secara besar-besaran, mereka masuk Nusantara dengan kelompok-kelompok kecil.
Mereka membawa berbagai kebudayaan antara lain falsafah/ajaran Buddha dan aksara/tulisan kaganga. Khusus di Lampung sekarang dikenal dengan tulisan Lampung karena pada zaman modern ini Lampunglah yang lebih dulu mengangkat aksara kaganga tersebut. Di Sumatera bagian selatan, khususnya di Sumatera Selatan, aksara kaganga dikenal dengan nama tulisan ulu dalam wilayah pedalaman Batanghari Sembilan di Jambi, dikenal dengan nama tulisan encong, di Aceh dengan tulisan rencong, di Sumatera Utara/Batak dengan tulisan pustaha/tapanuli.
Di wilayah kepulauan nusantara ini yang memakai tulisan kaganga hanya di Pulau Sumatera dan Sulawesi (ada 22 wilayah) dan di luar wilayah tersebut memakai tulisan/aksara pallawa/hanacaraka yang berasal dari India sesudah masuk abad Masehi bersama dengan ajaran/falsafah Hindu, yang kemudian hari berkembang di Pulau Nusa Kendeng/Pulau Jawa sekarang dan Bali. Di pusat Kerajaan Saka/Aji Sai, raja-rajanya adalah titisan penjelmaan Naga Sakti/Nabi Khaidir a.s., dalam rangka mengemban tugas Tuhan Yang Maha Esa dengan menurunkan hukum inti Ketuhanan (falsafah Jaya Sempurna) sepanjang zaman. Di Pagar Alam Lahat, tepatnya di antara perbatasan 3 provinsi; Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu lokasi tersebut sampai saat ini belum terungkap dan masih merupakan misteri bagi bangsa Indonesia. Untuk mengungkapnya perlu dipelajari tulisannya, yaitu kaganga atau pallawa (hanacaraka).

Sejarah Adat
Adat pepadun sai batin terbentuk pada abad ke-17 tahun 1648 M oleh empat kelompok/buay, yaitu Buay Unyai di Sungai Abung, Buay Unyi di Gunungsugih, Buay Uban di Sungai Batanghari dan Buay Ubin (Subing) di Sungai Terbanggi, Labuhan Maringgai. Adat pepadun sai batin ini masih ada pengaruh dari Hindu dan Buddha Putri Bulan tidak dikenal keempat peserta sidang (empat buay) yang merupakan utusan kelompok masing-masing wilayah. Sangaji Mailahi menjawab akan membentuk adat.
Keempat bersaudara dari 4 buay tersebut merasa sangat tertarik melihat Putri Bulan adik angkatnya Sangaji Malihi, sehingga rapat/sidang ditunda sejenak karena terjadi keributan di antara mereka. Untuk mengatasi keributan itu, Sangaji Malihi memutuskan Putri Bulan dijadikan adik angkat dari mereka berempat. Setelah meninggalkan daerah Goa Abung, mereka menyebarkan adat ke daerah pedalaman Lampung sekarang. Buay Unyai pada puluhan tahun kemudian hanya mengetahui sidang adat pepadun sai batin diadakan di daerah Buay Unyai dan sebagai Raja Adat, Raja Hukum, Raja Basa (Bahasa) adalah Sangaji Malihi yang kemudian hari dijuluki masyarakat sebagai Ratu Adil. Buay Bulan (Mega Pak Tulangbawang) pada permulaan abad ke-17 Putri Bulan bersuamikan Minak Sangaji dari Bugis yang julukannya diambil dari kakak angkatnya Sangaji Malihi (Ratu Adil).
Empu Riyo adalah keturunan Buay Bulan di Buay Aji Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri Bulan ada di belakang Kecamatan Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri Bulan di Buay Aji Tulangbawang Menggala (sekarang). Di antara keturunan Raja Jungut/Kenali Pesagi keturunan Buay Bulan ada di Kayu Agung, keturunan Abung Bunga Mayang dari Mokudum Mutor marga Abung Barat sekarang.
Jadi adat pepadun sai batin merupakan satu kesatuan (two in one) yang tidak terpisahkan satu sama lainnya karena arti/makna dari pada kata atau kalimat pepadun sai batin adalah pepadun = musyawarah/mufakat, dan sai batin = bersatu/bersama. Jadi kata pepadun sai batin adalah musyawarah mufakat untuk bersama bersatu.
Dan kemudian hari sejarah adat pepadun sai batin terbagi menjadi 2 kelompok/jurai, yaitu Lampung sai = pepadun dan aji sai = sai batin, yang kemudian kita kenal sebagai lambang Sang Bumi Ruwa Jurai (pepadun sai batin). Fakta/bukti autentik piagam logam tahun 1652 Saka/1115 H atau tahun 1703 M yang bertuliskan Arab gundul dan aksara pallawa/hanacaraka msh ada sampai sekarang. Jadi adat pepadun sai batin itu berarti musyawarah mufakat untuk bersatu/bersama dalam pembentukan Adat.
Pepadun = Musyawarah/mufakat
Sai batin = Bersatu/bersama
Lampung sai = Kita bersatu/mereka bersatu
Aji sai = Saya satu/ini satu
Sang Bumi Ruwa Jurai = pepadun saibatin (satu kalimat) musyawarah untuk bersatu

B.  PAKAIAN ADAT LAMPUNG
Didalam adat yang diadat kan, maupun adat yang teradat, kebesaran suatu adat itu selalu bertumpu pada tiga hal, yaitu alat di lamban, alat dilapahan, alat dibadan, dari tumpuan tiga itu kita tahu betul, siapa seseorang menurut tata cara dan adat orang Lampung. Dari alat alat yang ada dirumahnya, dari alat alat yang digelar dalam perjalanan adatnya, dan dari alat alat yang melekat pada pakaiannya, tanpa orang lampung diberi tahu, dia akan tahu siapa seseorang itu, karena dari dulu suku bangsa Lampung sangat membanggakan simbol simbol. Simbol simbol kebesaran sebagai kebanggaan meraka, untuk tetap melestarikan suatu kebesaran yang telah dimulai sejak nenek moyang dari dahulu kala.  Pakaian adat Lampung Sekala Brak atau masyarakat adat saibatin mempunyai ketentuan-ketentuan pemakaiannya. Misalnya  pakaian yang boleh dipakai oleh pemimpin adat, para tetua adat, dan masyarakat biasa. Pemakaian pakaian adat merupakan kode etik, seseorang tidak sopan bilamana memakai pakaian adat yang bukan atau tidak sesuai dengan bentuk atau warna yang boleh dipakainya. Bagi seorang yang memakai pakaian tidak sesuai kedudukannya maka biasa disebut " Busuk Huwak" yakni Makai Kawai Mak Dijenonganni, dan biasanya akan mengundang " Upok Bujuk" atau cemoohan dari masyarakat yang lain.  Oleh karena itu masyarakat adat saibatin sangat menghormati tingkatan kedudukan beserta ketentuan adat yang melekat padanya.
Keindahan pakaian adat, baik oleh bentuknya maupun warna dan hiasan-hiasannya sangat menjadi perhatian sejak dahulu. Ditambah dengan pemakai alat perhiasan yang beraneka bentuk dan warna adalah untuk menciptakan keindahan yang sedap dipandang mata. Akan tetapi, Seperti diketahui bahwa pakaian yang diutamakan dalam adat saibatin adalah pakaian yang selaras dengan ajaran islam diantara menuntut norma kesopanan atau yang menutup aurat.
Penentuan bentuk dan warna pakaian adat untuk tiap tingkat kemasyarakatan pemakai, adalah suatu identitas yang telah dibakukan oleh masyarakat adat serta terus dilestarikan sejak zaman nenek moyang.

Berikut contoh tata aturan busana adat bagi masyarakat adat saibatin :
1.      Busana masyarakat adat untuk kaum wanita dewasa dalam Keseharian maupun dalam Upacara Adat / Tayuhan, memakai penutup kepala yang dahulunya terbuat dari kain atau selendang yang dikenakan dikepala ( menutup rambut ) yang disebut "Kumbut" sedangkan bagian bawahnya menggunakan sinjang / hinjang atau kain sarung.


2.      Busana masyarakat adat secara umum untuk kaum pria dalam Upacara Adat / Tayuhan, memakai penutup kepala yang disebut "Ketupung / Kepiah" sedangkan bagian bawahnya menggunakan sarung yang disebut sinjang / hinjang belipat diatas lutut


3.      Busana untuk para pesilat atau pendekar pengiring Sultan / Saibatin dalam Upacara Adat / Tayuhan, memakai ikat kepala yang disebut "Ikok Hulu" serta memakai kain ikat pinggang disebut "Ikok Tengah".




4.      Busana untuk kaum wanita ( penabbaian ) yang bertugas sebagai pengusung lelamak jambat titi kuya atau alas perjalanan Sultan dalam Upacara Adat / Tayuhan, memakai penutup kepala menyerupai tanduk yg dibuat dari kain selindang biasanya dipakai adalah " selindang miwang/ selindang balak". Dikenakan dikepala yang disebut "Kanduk / Kekanduk" serta memakai "ikok tengah" atau ikat pinggang dari kain, dan bagian bawahnya menggunakan sinjang / hinjang ( kain sarung ).









5.      Busana untuk yang memiliki adok /gelar Batin, Radin, Minak, Kimas, Mas/Inton dan masyarakat biasa dalam Upacara Adat/ Tayuhan adalah memakai ketupung yang ujungnya berbentuk segitiga atau kopiah biasa serta mengenakan kain belipat diatas lutut.


6.      Busana untuk yang memiliki adok Raja / Dipati dalam Upacara Adat/ Tayuhan adalah memakai Tungkus berbelalai didepan dan dibelakang bagian bawah serta kain serong gantung kekanan. 


7.      Busana untuk Sultan / Sai Batin dalam Upacara Adat/ Tayuhan adalah memakai Tungkus tanpa belalai dibelakang, dilengkapi selempang dan kain serong gantung kekiri. Dan tata pakaian ini terlarang dan dilarang dikenakan oleh adok dibawahnya, terkhusus untuk Sai Batin. 





8.      Busana Pengantin dalam upacara pernikahan terdapat dua persepsi masyarakat :
·         Mengenakan pakaian yang menunjukkan suatu hal yang istimewa bagi masyarakat umum,  seperti pakaian dengan tata cara adat seolah raja atau bangsawan, dengan maksud sebagai suatu simbol idaman orang tua dan keluarganya, kiranya rumah tangga baru itu akan tumbuh menjadi rumah tangga sejahtera dan bahagia, dan oleh karenanya lah Pengantin disimbolkan seolah raja dan ratu sehari.
·         Mengenakan pakaian atau busana yang tetap disesuaikan dengan tingkatan gelar adat yang disandang kedua mempelai, ini biasanya bagi sebagian masyarakat Lampung masih berada dilingkungan Kepaksian / Kerajaan, masyarakat tidak berani memakai pakaian pengantin laki laki ( mengian ) sebagaimana pakaian adat untuk raja atau bangsawan disebabkan penghormatan mereka terhadap tata adat Sai Batin masih sangat kental dan mengakar.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa lampung kaya akan sejarah dan pakaian adatnya, jadi wajib kita untuk menjaganya

B.  Saran
Saran kami untuk para pembaca, sejarah lampung dan pakaian adat lampung adalah harta daerah yang wajib kita jaga dan kita lestarikan. Kita sebagai siswa yang baik harus melestarikan harta itu bukan untuk dirusak.






0 comments:

Post a Comment

 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates